Bagéa, anaking, kanca-mitra, dulur-baraya. Sumangga sindang di blog simkuring, pamugi aya mangpaatna...!

Minggu, 10 Oktober 2021

NISCAYA

Cerpen
oleh Imas Rohilah

Aneh pamanku yang satu ini. O ya, aku punya banyak paman. Dari pihak ibuku saja ada tujuh, dari pihak ayahku ada tiga, sepuluh paman. Dan kami semua berkumpul di rumah besar keluarga besar kami. Ada beberapa om yang sudah pindah rumah memang, tapi pindahnya tidak jauh. Lahan kakek-nenekku luas sekali.  Di tanah yang luas milik kakek-nenek, dibangun lagi rumah-rumah di sekitar rumah induk. Di situlah om-omku yang lain tinggal. Di antara sepuluh paman, yang belum menikah cuma Om Indra saja. Dia menyebalkan, sering menyebalkan. Pantas sering putus pacaran.

Memang benar dia sering pacaran. Entah kenapa putus lagi-putus lagi. Yang paling nempel di hatiku, nama pacarnya Tante Niscaya. Mungkin karena yang ini pacar yang paling awet. Tidak terlalu cantik memang, tapi dia dewasa sekali, tidak manja-manja. Dia bisa diajak curhat. Senang aku curhat padanya. Dia juga cerdas, otaknya encer seperti adonan kue gagal kebanyakan air. Setiap aku dapat PR dari ibu-bapak guru tersayang, aku selalu dibantu. Dan ini nih yang paling membuat aku heran, dia jarang mengeluarkan dompetnya untuk keinginan-keinginanku. Menurut Om Indra keinginanku kadang-kadang tidak rasional, apa iya ya? Dan herannya lagi, meski tidak pernah menghamburkan uang atau mengobral pujian untukku, aku gak apa-apa. Gak merasa marah, gak merasa dicuekin. Aku senang bersama-sama dengan Tante Nis. Aku merasa nyaman. Aku berkesimpulan, Tante Nis baik, karena itulah aku nyaman bersamanya. Eh, lagi senang-senangnya punya calon tante yang baik hati, diputuskan begitu saja. Dasar Om Indra. Tanpa kompromi denganku

Kontan aku tidak punya lagi teman curhat. Tante-tanteku yang lain cerewetnya minta ampun. Senangnya memberi nasehat, tidak pernah mau mendengar keluhanku, tidak mau tahu alasan-alasan tindakanku, kenapa aku pulang telat, kenapa aku tidak mau makan, kenapa aku tidak cepat ganti baju sepulang sekolah, mereka tidak mau tahu. Maunya aku tidak boleh pulang telat, aku tidak boleh malas makan, aku harus cepat ganti baju kalau pulang sekolah. Beda sekali dengan Tante Niscaya. Dia mau mendengar setiap keluhanku, mau memberi komentar, dia jarang menyalahkan aku. Dia mengerti benar padaku. Beda sekali pokoknya, aku menyesal sekali.

Dan aku bicarakan ini sama Om Indra. Eh, dia bilang, “Sudah kuduga!”  Huh korban meme! “Niscaya Om nggak bakalan jadi sama Niscaya. Salah nama sih!” katanya lagi enteng. Hanya persoalan nama? Memangnya kenapa dengan Niscaya? Niscaya kan nama yang manis. Agak aneh juga sih, he he.... Padahal “What is in a name?katanya sih Shakespeare, buat so’soan aja main kutip.

Aku kini kehilangan Tante Niscaya. Kalau boleh dikata, aku patah hati. Semua cara kutempuh agar bisa tetap berkomunikasi dengannya. Kepoin timeline FB-nya. Duhhh..., Tanteu Nis jarang update status, jarang posting insta story, bahkan gak pernah. Dia Cuma bikin akun, udah gitu aja. Medsosnya adem ayem, gak ada perubahan, gitu-gituuuu aja. Jarang posting foto diri, jarang komen, jarang apapun. Seperti air tergenang di kubangan, ngejumbleng.

Segala cara kutempuh. Aku sering kontek ke nomor HP-nya, panggilan WA, messenger, DM. Semua-muanya. Dan dia abai. Aku telpon ke rumahnya, cara jadul juga sih, yang mengangkat selalu orang lain. Kalau tidak mamanya yang bersuara lembut, pasti pembantunya yang bersuara cempreng. Aku coba juga menghubungi kantor tempat dia bekerja, tak pernah teleponku terhubung dengannya. Kenapa sih, Tante? Kecewa, ya? Aku mengerti sekali kalau Tante kecewa sama Si Om Indra. Dia memang keterlaluan, tapi jangan samakan aku dengan dia dong. Aku mah baik sekali ngikut Tante Nis, cius....!

Sampai suatu kali kangenku sama Tante Nis tak bisa dibendung lagi. Aku nekad datang ke rumahnya. Sebelumnya kubeli makanan kesukaan Tante Nis di perjalanan. Aku sengaja tidak minta izin Papa-Mama, apalagi Om Indra. Bisa marah besar dia. Asal tahu saja, yang jatuh cinta sama kelembutan Tante Nis bukan hanya aku, tapi Papa-Mamaku juga, Nenek dan Kakekku.  Mereka semua sudah setuju 360 persen, eh derajat, untuk menjadikan Tante Nis menantu sejatinya. Cuma ya itu, Om Indra melepas begitu saja Tante Nis, seperti kemoceng usang. Dibuang begitu saja, dilupakan jasanya.

“Eh, Neng Zahra, masuk Neng!” Bi Minah yang selalu sumringah membuka pagar mempersilakan aku masuk. “Tante Nis-nya ada?”

“E he he he…”

“Lho, malah nyengir kuda, mana Tante Nis?” Aku sudah terlanjur akrab dengan bibi yang satu ini. Bibi malah menggoyang-goyangkan pangkal lengannya yang menggelombyor.

“Neng Nis tidak ada, Neng.”

“Ke mana?

“Neng Nis lagi kuliah.”

“Kuliah?” Kan Tante Nis sudah sarjana, sudah kerja pula, sekarang kuliah apalagi?

“Ya, kuliah esss… dua….”

Hmm… sudah pintar masih terus sekolah. “Bibi tahu di mana kampusnya?”

“Meneketehe!” Bi Minah centil.

“Ah Bibi…!” Aku mulai putus asa.

“Tunggu aja di sini Neng, paling telat nanti sore datangnya, Neng Nis pernah pesen kalo ada Neng Zahra suruh nunggu.”

Hei, ternyata Tante Nis menunggu kedatanganku, apa ia juga kangen aku? Sayang aku tidak pamit pada orang di rumah. Kalau telat pasti kena semprot. 

“Telpon aja dari sini kalau belum pamit.” Bi Minah pandai menebak isi kepalaku.

“Boleh, Bi.”

Aku patuh mengekor Bi Minah, terlihat badannya gesit mendahului langkahku, jadi kubiarkan dia berjalan agak jauh dariku.

“Mama ada Bi?” aku terbiasa memanggil mama pada mamanya Tante Nis.

“Wah semua lagi pada pergi.”

Agak menyesal aku, padahal aku ingin mengorek keterangan dari Mama.

Serakan batu koral di halaman rumah Tante Nis anggun abu-abu diselingi batu-batu besar datar untuk pijakan. Aku berjalan setengah meloncat-loncat dari satu batu ke batu lainnya. Bebas rasanya sebebas serakannnya. Tapi kebebasan itu terbelenggu lagi ketika kulihat pohon-pohon mawar merah legam layu tak terurus. Belum sempat mereka tumbuh dengan baik, mungkin Tante Nis tak menyuruh Bibi untuk mengurusnya. Kalau Bibi kan tergantung komando.

Hemh, ketar-ketir juga, mawar merah kata orang lambang cinta. Dan yang aku tahu pasti, stek benih mawar merah legam itu dipersembahkan oleh Om Indra untuk Tante Nis, dulu waktu masih mesra-mesranya mereka. Kata Om Indra sih, agar cintanya abadi. Kalau cuma sekuntum mawar kan bisa layu. Ini sekalian saja sama stek benihnya biar dipelihara. Lambang pemeliharaan cinta, lambang kesetiaan, omong kosong! Itu sih kecapnya Om Indra aja, mana buktinya?

Kasihan mawar legam. Tante Nis suka sekali merah legamnya. Sekarang semua hampir layu, kuyu, sekuyu hatiku kehilangan Tante Nis. Ada apa dengan Tante Nis? Iya, aku tahu ada apa, tapi aku tidak bisa menerimanya begitu saja. Aku ingin Tante Nis tetap ceria, aku ingin Tante Nis tetap tersenyum manis padaku dan pada keluargaku, aku ingin Tante Nis benar-benar menjadi tanteku tersayang. Kini aku pun rela menunggunya berjam-jam.

*


“Hei Ade! Jangan! Nanti rusak telponnya, kan Kak Zahra lagi bicara nih sama Mama-mu. Hei jangan!”

“Mama mamam mamam babap ….”

“Lucuu…, ci cayang, udah pintel bicala ya?” kuputuskan untuk menyimpan gagang telepon dan bercanda dengan Ade, anak Om Indra dan Tante Nis.  “Mau eskrim Ade?”

“Mamam mamam bap babap…!” racauan Ade yang lucu, aku makin gemas.

“O, mau ya, sini, dikasih es krim sama kakak, awas jatuh, jalannya hati-hati, ayo jalan, ayo jalan…,” aku bernyanyi riang, senang sekali bernyanyi memberi semangat Ade yang sedang belajar berjalan.

“Ade mau ke mana?”

Ade mulai bisa berjalan. Dan terus berjalan, lancar dan cepat. “Ade? Kok cepet banget jalannya? De jangan kesitu, banyak mobil, nanti keserempet, Ade….!” Ade akhirnya berlari menuju pintu gerbang yang terbuka, melaju ke arah jalan, dan cuittt! Suara rem yang meyakitkan. “Ade…!” kuhabiskan suaraku, tapi serta-merta tubuh Ade tidak terlihat, terbenam ke dalam badan kendaraan yang begitu besarnya, aku tidak tahu apa namanya, baru rasanya melihat bentuk kendaraan seperti itu.

**

 “Hai, apa kabar?”

“Tante…?” Napasku masih tersengal, cuitan rem itu masih terasa menusuk di telinga.

“Koq tidur di sofa?”

“Ehe he he….” Kuusap ujung kanan bibirku, kurasa ada ilernya.

“Kamu langsung dari sekolah?” Tante Nis menunjuk seragam putih-biruku. Aku mengangguk.

“Sudah sore, kamu sudah makan?”

“Males ah,” Aku menggeleng.

“Ayo makan dulu.”

“Dengan berlagak gak berselera, aku makan diam-diam dan sedikit-sedikit. Sedang kucoba cari perhatian Tante Nis.

“Koq makannya begitu? Apa tidak lapar? Hayo yang bener makannya, lapar tahu rasa!” Tante Nis menambahkan nasi di piringku. Tahu aja aku lapar bukan main. Dua piring tandas kulahap nasi dan lauk-pauknya. Tante Nis tersenyum tanpa komentar. Malu juga.

 “Mau diantar pulang?”

“Sama Tante?” isi kepalaku mulai pulih.

Tante Nis hanya mengangguk sambil tersenyum. Waduh bisa-bisanya aku mimpi indah punya Ade, tapi menakutkan karena Ade-nya hilang begitu saja.

Kami menghabiskan waktu sepanjang perjalanan ke rumahku dengan berbincang dan bercanda. Kuceritakan juga mimpiku barusan, “Tidur di sofa aja sampe mimpi!” Tante Nis terkekeh-kekeh. Candanya serta-merta berhenti ketika kutanyakan perihal Om Indra.

“Sudahlah, tanya yang lain aja, jangan tanya soal pamanmu itu.”

“Tante benci sama Zahra?”

“Kalau benci kenapa mesti repot-repot nganter kamu pulang?”

Iya juga ya, “Kenapa Tante putus sama Om Indra?”

“Tuh, pertanyaannya ke situ lagi.”

“Tante benci sama Om Indra?”

“Ke situ lagi.”

“Hhhh….” Aku putus asa. Kenapa mereka putus? Apa kurangnya Tante Nis? Apa pula kurangnya Om Indra? Om-ku ganteng, suerr, badannya atletis, Om juga sudah kerja, posisinya bagus, di perusahaan besar lagi. Kenapa mereka saling benci? Kenapa saling tidak cocok?”

Tante Nis gak mau mampir, ia langsung pulang. Aku berjalan lunglai menuju kamarku.

“Zahra, dari mana aja? Ayo mandi, makan, kurus ntar badanmu!” Mama mencegatku di depan tangga. Mesti kalo gak mau makan dibilang kurus. Padahal Mama sendiri pengen sekali kurus. Bibirnya terlihat masih terbuka, rentetan kalimat-kalimat siap keluar memberondongku dengan berbagai pertanyaan dan hujatan. Aku sudah menduga sebelumya.

“Sudah makan Ma, di rumah Tante Nis.” Percaya atau tidak padaku, Mama tak akan tanya ke Tante Nis seperti sebelumnya.

“Kamu dari rumah Nis?”

“Iya, kan tadi siang Zahra bilang di telpon,

“Iya, tapi Mama kan sudah bilang, kalo mau pergi-pergi, pamit sebelumnya, jangan pamit dari jalan. Gimana kalo terjadi sesuatu sama kamu.”

“Zahra masih utuh Ma, nggak kenapa-napa.”

“Bantah! Awas kalau ke sana lagi!”

Tuh tuh tuh… ada apa ini? Koq Mama juga sepertinya membenci Tante Nis? Padahal kan sebelumnya paling akrab haha-hihi bersama.

**

“Halo Zahra sayang….”

“Hhh… Om Indra,” Acuh tak acuh aku tanggapi sapa akrab pamanku itu.

“Kenapa cuwek Say?”

Aku tak menjawab, remot TV di tangan kananku sepertinya menjadi mainan paling mengasyikkan saat ini.

“Wah, merajuk lagi, ayo dikenalin sama temen Om yang baru.”

“Males!” aku setengah berteriak.

“Marah bener nih!” Om Indra masih menggodaku.

Kutinggalkan remot begitu saja, aku lari masuk kamar, buk! Uh, kagetnya. Kutatap orang yang baru saja bertumbukan denganku. Cantik, tinggi besar, hei senyumnya mengembang ramah, dan dia malah terus tertawa.

“Pasti Zahra!” telunjuknya ke arah mukaku. “Maaf ya, sakit nggak barusan?” katanya memelas. Aku menggeleng pelan, melaju masuk kamar. Pasti ini yang mau dikenalkan padaku, dia pengganti Tante Niscaya. Sok akrab!

“Zahra, ini lho Tante Dina.”

“Ya, sudah kenal barusan,” teriakku.

Berikutnya hari-hari kulalui dengan kehadiran calon tante yang baru yang sering sekali diajak Om Indra ke rumah. Tante yang baru ini baiknya minta ampun. Maksudnya dalam pemberian, uang lah, barang-barang kesukaan lah. Tapi ini mesti berlebihan. Tidak seperti Tante Nis yang perhatiannya bisa kupahami. Jangan-jangan kalau mereka sudah menikah nanti, pemberian-pemberian itu lama-lama surut. Seperti juga tante-tanteku yang lain, mereka sayang padaku ketika sedang pendekatan saja sama om-ku, kalau sudah jadi, peliit sekali! Dan aku tidak mau itu terjadi. Karenanya, Om Indra tidak boleh nikah sama Tante Dina!

Tapi aku tak berdaya mencegahnya. Pernikahan itu terjadi juga. Tante Dina hari ini resmi menjadi tanteku yang baru. Om Indra hari ini resmi menjadi seorang suami, bukan lagi bujang lapuk yang gonta-ganti pacar.

“Hei!” sentuhan lembut di bahuku mengagetkanku. “Kamu cantik pake kebaya!”

“Eh, Tante datang juga!” setengah berteriak aku menyambut Tante Nis.

Aku ingin memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya, “Tante boleh ngobrol-ngobrol dengan Zahra?”

“Ayo.”

“Tante, nggak apa-apa gitu datang ke sini?” Tanyaku heran setelah kupilih tempat duduk yang agak pojok. “Kenapa memang? Tante harus datang, kan diundang?”

“Perasaan Tante gimana?”

Gimana gimana?

Malah balik tanya. “Nggak marah liat Om Indra?”

“Kenapa mesti marah? Kami pisah itu saja.”

“Nggak cemburu sama Tante Dina?”

“Enggak, Om Indra emang pantas buat Tante Dina.”

“Zahra nggak bisa terima Tante Dina jadi tanteku.”

“Jangan bilang tidak, bilang aja belum.” Senyum Tante Nis mengembang, matanya tajam.

“Nggak...! berdesis pelan suaraku, mengeleng kepalaku.

“Berpikirlah positif tentang Tante Dina, kalau perlu kamu catat hal-hal terbaik dari Tantemu itu. Buat daftarnya di buku harianmu, tuliskan sebanyak-banyaknya, meskipun sekecil-kecilnya.”

“Yang jeleknya?”

“Nah kalau yang itu, jangan sekali-sekali ditulis, lupakan saja, lagi pula pasti kau akan sulit menemukannya”

“Wah, banyak jeleknya! Tante Dina suka bikin Zahra…!”

“Ssttt…. Jangan diucapkan! Apalagi ditulis!” Aku tak sempat mengucapkan pendapatku tentang Tante Dina. Tante Nis menyetopku serta-merta.

“Kenapa?” Belum sempat pula pertanyaanku terjawab, seorang pria gagah menghampiri meja kami, dia tersenyum ramah padaku, siapa dia?

“Oya, Zahra, kenalin teman baru Tante, Om Dika.”

Busyet! Pacar Tante Nis yang baru? Pasti pacarnya, kalau bukan, kenapa datang bareng-bareng ke acara perkawinan? Eh, kalau bukan pacar, apa tidak boleh datang bareng-bareng ke resepsi perkawinan?

“Zahra.” Kujabat tangannya. Kesan pertama, orangnya hangat dan… keren. Sebetulnya siapa yang bikin gara-gara? Tante Nis yang selingkuh atau Om Indra? Atau dua-duanya selingkuh? Atau mereka pisah baik-baik, lantas mereka cari pasangan baru?

“Kita tak kan lama lagi nyusul Om dan Tantemu.” Aku terdiam beberapa jenak, mencerna kalimat barusan, “Nikah?” Bodoh sekali pertanyaan itu.

“Iya, datang ya, Zahra tamu istimewa Tante.”

Ya Tuhan?

“Mau datang kan?” Tante Nis menyentil pipiku.

“Eh…iiya Tante, emangnya kapan?”

“Sebulan lagi, nanti kartu undangannya dikirim.”

“Selamat ya.”

“Makasih.”

Dan pertemuan itu berakhir, mereka beriringan sungguh sangat serasi.

*

“Nomor satu, tersenyum ketika pertama ketemu.”

Nomor dua, banyak bikin ketawa bikin aku geli. Bukan, itu bukan sisi positif, itu sisi negatif, dia kan tertawa menertawakanku. “Nomor dua, ngasih uang untuk beli novel. Nomor tiga, ngasih uang saku untuk berenang. Nomor empat, ngasih uang untuk beli parfum. Nomor lima ngasih uang untuk berangkat ekskul. Nomor enam, ngasih kaus Black Pink kesukaanku. Nomor tujuh, beliin aku buku atlas. Nomor delapan, ngomentarin cantik ketika kupakai baju biru.”

Sudah seminggu kuikuti saran Tante Nis. Balpoin terus menari-nari di atas buku diariku. Dan Hei! Sudah sampai di nomor 67 sisi positif Tante Dina. Apa iya? Kubaca lagi daftar itu dari awal. Apa iya ya Tante Dina sebaik itu? Apa iya ya?

Kututup diariku. Aku keluar kamar. Berdiri di ujung tangga. Kulihat Om Indra dan Tante Dina sedang asyik nonton TV bareng Mama-Papa dan yang lainnya. Sebentar-sebentar mereka tertawa. Hampir tak bersuara kuturuni anak tangga satu persatu.

“Akhir-akhir ini kamu asyik di kamar, Zahra?”  Mama menyambutku.

“Banyak PR Ma.”

Selanjutnya ruang keluarga dipenuhi gelak tawa.

Sebentar lagi aku akan kehilangan tawa Tante Dina dan godaan-godaan Om Indra, mereka akan segera menempati rumah barunya. Aku pasti merindukan mereka.*** (Dari Antologi Bermula dari Mimpi, 2020)


Minggu, 03 Oktober 2021

TUKANG ENDOG

Naskah Drama Monolog pikeun Bahan Pangajaran Basa Sunda Kelas IX 

(TUKANG ENDOG KEUR NGAREUREUH HANDAPEUN  TANGKAL KAI BARI NGAGEBERAN AWAKNA KU DUDUKUY.  ENDOGNA DUA TOLOMBONG, LOBA KÉNÉH NU CAN PAYU. TENG LAMUNANANANA PANJANG, NGOMONG SORANGAN)

Lah, kieu rasana jadi jalma sangsara. Saban poé ripuh kudu nananggung endog ka mana-mana. Leuheung mun payu. Lamun henteu? Nya ngan ukur meunang kacapé. Awak asa raremuk satulang sandi, deuh....!

 (NGAHULENG DEUI)

Tapi jelema mah apan kudu sabar. Saha nu  nyaho isuk pagéto mah urang meunang milik gedé. Enya urang rék sabar baé, ah. Gusti Alloh bakal nyaaheun ka jalma nu sabar mah.

(RIUKNA UJUG-UJUG GUMBIRA BANGUN MEUNANG KABUNGAH)

Saha nu nyaho, isukan mah endiog urang payu dua tolombong. Ku urang moal dibeulikeun kana endog deui, tapi rék dibeulikeun kana hayam bibit. Engké hayamna diurus, bakal anakan, reuay ngalobaan, ngaratuuuus...!

Engké lamun hayamna geus loba, ku urang rék dijual kabéh, urang rék meuli domba. Heueuh, rék diurus sing tulatééén.... ngarah téréh anakan, ngalobaan.

 

(JEN NANGTUNG BARI TUTUNJUK)

Tuh tingali...! domba urang geus reuay baranahan, di pasir di tegalan urang sorangan anu ngangonan. Huuuh... nu bikang, nu jalu. Nu bodas, nu belang. Ieu domba urang rék dijual kabéh. Ladangna rék dibeulikeun kana sapi.

 

(SEURI NGABARAKATAK BARI TUTUNJUK DEUI)

Ha... ha... ha.... tingali urang ayeuna geus boga sapi! Wah, geus kaitung beughar boga sapi mah. Sapi urang baranahan, loba anakna. Sapi urang téréh garedé da alus rawat. Adeuh... lalintuh da hadé parab. Tah déngékeun disadana ogé emoh...emoh...emoh..., cenah. Ku urang mun geus loba rék dijual. Ladangna rék dibeulikeun kana mobil. Moal asa-asa, Lamborghini! Deuleukeun Lamborghini! Lamborghini Gallardo pulas hideung Batman, sakalian Lamborghini Super SUV! Mobil Raffi Ahmad léwaaat...!

 

(GÉK DIUK, LEUNGEUNNA PEPETA  CETAAN NYETIR MOBIL)

Deuh..., urang si ganteng nyetiran Lamborghini. Gigireun si rancunit tanding Miléa. Ikbal Dilan? Tai kuku!  Rék opatan sakaligus sugan nu jiga Jennie Blackpink? Hayu...!

Lah Aay... tong ngoconan waé atuh, apan Akang keur nyetiran.... Tuh... hah...! Budak meuntas. Waduuh...!  Tenang, urang nu ganteng tapis nyetiran. Budak meuntas ngadadak mah biasa!

(SUKUNA NÉJÉH SAKALIGUS, CETAAN NGERÉM, NGAJEJEK ENDOG DINA TOLOMBONG. ATUH TOLOMBONG TIGULING, ENDOGNA PRA-PRÉ PAREUPEUS. TUKANG ENDOG REUWAS. SADAR TINA LAMUNAN. TULUY NGOMONG BARI CEURIK)

Emh, endog urang peupeus satolombong! Endog urang pareupeus! Hu hu hu (CEURIK GAGAURAN) endog urang pareupeus...! Satolombong... satolombong...!

(TERUS CEURIK BARI MULUNGAN ENDOG)


(Diropéa tina Mahér Basa Sunda Kelas IX)

NGÉLMU

Conto Naskah Drama Monolog pikeun Pangajaran Basa Sunda Kelas IX SMP

PEUTING JEMPLING, DI HIJI ROHANGAN, BURHAN KEUR MENEKUNG MUJASMÉDI. REUP PEUREUM MEUNANG SAWATARA WAKTU. TEU LILA KORÉJAT CENGKAT NGAGENTAK JIGA AYA NU NGAGEBAH.

Bieu mah asa aya nu ngageroan. Sada sora indung-bapa kuring. Sada sora adi-adi kuring…. Sora-sora…. (SIRAHNA DÉNGDÉK, LEUNGEUNNA NÉMPÉL NA CEULI KATUHU). Ah, jempling-jempling teuing atuh wanci téh. Jam sabaraha ieu téh nya…? Guru, anjeun kitu nu datang téh? Atawa Imam kitu, nu cikénéh ngageroan téh. Guru atawa Imam? Atawa lain maranéhna? Rus-ras, hirup nu pacaruk jeung impian. Guru atawa Imam nu cikénéh ngageroan kuring téh atuh? Si Éyang meureun, guru kuring. Kapan manéhna mah sakti mandraguna. Tapi élmu nu katarima ku kuring ti Si Éyang can sampurna. Can aya jalma nu bisa kasalametkeun ku kuring. Kuring can bisa nulungan sasaha. Ah, anéh, naha aranjeun téh waka euweuh atuh. Padahal mah maot téh engké wé mun kuring geus laksana sakumaha nu dipikahayang. Kuring hayang bisa tutulung. Sanggeus kuring teu bisa nulungan indung-bapa kuring sorangan.

(GÉK DIUK ANTARÉ, SILA TUTUG) Ku kuring geus dicaritakeun kapan Eyang, yén kolot kuring aya nu ngaheureuyan. Aya nu neluh ceuk urang kampung mah. Teu apal nanaon, balilu, kuring mah. Ukur bisa melongkeun kolot nu gering ngadadak. Utah-uger, teu bisa dicageurkeun ku doktor. Kuring ukur bisa nyengceurikan. Aya nu ngawerejit cenah. Aya nu neluh ceuk tatangga mah. Aya jalma nu hasud ka kolot kuring. Lamun seug kuring bisa nyageurkeun Ema jeung Abah, meureun ayeuna téh aranjeunna araya kénéh di kieuna. Saha atuh nu geus neluh kolot kuring téh?

(NGAHULENG RADA LILA) Hémeng, sainget mah, kolot kuring téh asa teu barogaeun musuh. Naha maké jeung aya nu neluh? Ti harita, kuring boga niat hayang boga pangabisa téh. Hayang bisa nyageurkeun jalma nu keuna ku teluh. Kuring hayang jadi jalma nu bisa tutulung. Itung-itung pangabakti ka kolot kuring sorangan. Aranjeunna aya di kalanggengan alatan kuring teu bisa nulungan.

(JUNG NANGTUNG, NITÉNAN KAAYAAN) Wanci terus mébérkeun jangjang jemplingna (TANGGAH BARI PEUREUM, LEUNGEUNNA RANGGAH) Peuting nu ngawasa peteng. Peteng nu ngawasa peuting. Peuting aing, peteng deungeun. Peuting aing gumalingging. Saban peteng deungeun-deungeun. Peuting lain sapeuting-peutingna. Bur mancur sukma nu ibur. Ngagulubur nyawa nu sirna. Sirna nganti di ajali. Sukma aing sukma deungeun. Deuleu Si Raja Mandala. Déngé Si Ratu Srangéngé. Hibar lumar sinar gumilar, sasoroting kamulyaan. Les…, aing tanpa karana, ngaraga meneng, ngaraga wening, ilangna kasampuraan…. (BURHAN NGARUMPUYUK, NGALEMPRÉH TEU EMPÉS-EMPÉS)

(Diropéa ku Imas Rohilah tina Sempalan Naskah Drama “Jeblog”Karangan Nunu Nazarudin Azhar)


Kamus Alit:

Teluh = santet
Werejit = sejenis teluh
Pacaruk = bercampur
Ahéng = anéh
Sakti mandraguna = sakti sekali
Antaré = lambat/pelan-pelan
Utah-uger = muntah-muntah
Sila tutug = duduk bersila dengan satu kaki ditekuk
Hémeng = heran
Kalanggengan = alam kubur
Peteng = gelap/kegelapan
Deungeun-deungeun = orang lain
Waruga = badan
Patelak = pertentangan
Sukma = jiwa
Ibur = ramai