Cerpen
oleh Imas Rohilah
Aneh pamanku yang satu ini. O ya, aku punya banyak paman. Dari pihak
ibuku saja ada tujuh, dari pihak ayahku ada tiga, sepuluh paman. Dan kami semua berkumpul di rumah besar
keluarga besar kami. Ada beberapa om yang sudah pindah rumah memang, tapi pindahnya
tidak jauh. Lahan kakek-nenekku luas sekali.
Di tanah yang luas milik kakek-nenek, dibangun lagi rumah-rumah di
sekitar rumah induk. Di situlah om-omku yang lain tinggal. Di antara sepuluh
paman, yang belum menikah cuma Om Indra saja. Dia menyebalkan, sering menyebalkan. Pantas sering putus pacaran.
Memang
benar dia sering pacaran. Entah kenapa putus lagi-putus lagi. Yang paling
nempel di hatiku, nama pacarnya
Tante Niscaya. Mungkin karena
yang ini pacar yang paling awet. Tidak terlalu cantik memang, tapi dia dewasa
sekali, tidak manja-manja. Dia bisa diajak curhat. Senang aku curhat padanya.
Dia juga cerdas, otaknya encer seperti adonan kue gagal kebanyakan air. Setiap
aku dapat PR dari ibu-bapak guru tersayang, aku selalu dibantu. Dan ini nih
yang paling membuat aku heran, dia jarang mengeluarkan dompetnya untuk
keinginan-keinginanku. Menurut Om Indra keinginanku kadang-kadang tidak
rasional, apa iya ya? Dan herannya lagi, meski tidak pernah menghamburkan uang
atau mengobral pujian untukku, aku
gak apa-apa. Gak merasa marah, gak merasa dicuekin.
Aku senang bersama-sama dengan Tante Nis. Aku merasa nyaman. Aku
berkesimpulan, Tante Nis baik, karena itulah aku nyaman bersamanya. Eh, lagi
senang-senangnya punya calon tante
yang baik hati, diputuskan begitu saja. Dasar Om Indra. Tanpa kompromi denganku
Kontan
aku tidak punya lagi teman curhat. Tante-tanteku yang lain cerewetnya minta
ampun. Senangnya memberi nasehat, tidak pernah mau mendengar keluhanku, tidak
mau tahu alasan-alasan tindakanku, kenapa aku pulang telat, kenapa aku tidak
mau makan, kenapa aku tidak cepat ganti baju sepulang sekolah, mereka tidak mau
tahu. Maunya aku tidak boleh pulang telat, aku tidak boleh malas makan, aku
harus cepat ganti baju kalau pulang sekolah. Beda sekali dengan Tante Niscaya.
Dia mau mendengar setiap keluhanku, mau memberi komentar, dia jarang
menyalahkan aku. Dia mengerti benar padaku. Beda sekali pokoknya, aku menyesal
sekali.
Dan aku bicarakan ini sama Om Indra. Eh, dia bilang, “Sudah kuduga!” Huh korban meme!
“Niscaya Om nggak bakalan jadi sama Niscaya. Salah nama sih!” katanya lagi enteng. Hanya persoalan nama?
Memangnya kenapa dengan Niscaya? Niscaya
kan nama yang manis. Agak aneh juga
sih, he he.... Padahal “What is in
a name?” katanya sih Shakespeare, buat so’soan
aja main kutip.
Aku kini kehilangan Tante Niscaya. Kalau boleh dikata, aku patah hati. Semua cara kutempuh agar bisa tetap berkomunikasi
dengannya. Kepoin timeline FB-nya. Duhhh..., Tanteu Nis jarang update status, jarang posting
insta story, bahkan gak pernah. Dia
Cuma bikin akun, udah gitu aja. Medsosnya adem ayem, gak ada perubahan, gitu-gituuuu
aja. Jarang posting foto diri, jarang komen,
jarang apapun. Seperti air tergenang di kubangan, ngejumbleng.
Segala cara kutempuh. Aku sering kontek ke nomor HP-nya,
panggilan WA, messenger, DM. Semua-muanya. Dan dia abai. Aku telpon ke rumahnya, cara jadul juga sih, yang mengangkat selalu orang lain. Kalau
tidak mamanya yang bersuara lembut, pasti pembantunya yang bersuara cempreng. Aku coba juga menghubungi kantor
tempat dia bekerja, tak pernah teleponku terhubung dengannya. Kenapa sih,
Tante? Kecewa, ya? Aku mengerti sekali kalau Tante kecewa sama Si Om Indra. Dia
memang keterlaluan, tapi jangan samakan aku dengan dia dong. Aku mah baik sekali
ngikut Tante Nis, cius....!
Sampai suatu kali kangenku
sama Tante Nis tak bisa
dibendung
lagi. Aku nekad datang ke
rumahnya. Sebelumnya kubeli makanan
kesukaan Tante Nis di perjalanan. Aku sengaja tidak minta izin Papa-Mama, apalagi
Om Indra. Bisa marah besar dia. Asal tahu saja, yang jatuh cinta sama
kelembutan Tante Nis bukan hanya aku, tapi Papa-Mamaku juga, Nenek dan
Kakekku. Mereka semua sudah setuju 360
persen, eh derajat, untuk menjadikan Tante Nis menantu sejatinya. Cuma ya itu,
Om Indra melepas begitu saja Tante Nis, seperti kemoceng usang. Dibuang begitu
saja, dilupakan jasanya.
“Eh,
Neng Zahra, masuk Neng!” Bi Minah yang selalu sumringah membuka pagar
mempersilakan aku masuk. “Tante Nis-nya ada?”
“E
he he he…”
“Lho,
malah nyengir kuda, mana Tante Nis?” Aku sudah terlanjur akrab dengan bibi yang
satu ini. Bibi malah menggoyang-goyangkan pangkal lengannya yang menggelombyor.
“Neng
Nis tidak ada, Neng.”
“Ke
mana?
“Neng
Nis lagi kuliah.”
“Kuliah?”
Kan Tante Nis sudah sarjana, sudah kerja pula, sekarang kuliah apalagi?
“Ya,
kuliah esss… dua….”
Hmm…
sudah pintar masih terus sekolah. “Bibi tahu di mana kampusnya?”
“Meneketehe!”
Bi Minah centil.
“Ah
Bibi…!” Aku mulai putus asa.
“Tunggu
aja di sini Neng, paling
telat nanti sore datangnya,
Neng Nis pernah pesen kalo
ada Neng Zahra suruh nunggu.”
Hei,
ternyata Tante Nis menunggu kedatanganku, apa ia juga kangen aku? Sayang aku tidak pamit pada
orang di rumah. Kalau telat pasti kena semprot.
“Telpon
aja dari sini kalau belum pamit.” Bi Minah pandai menebak isi kepalaku.
“Boleh,
Bi.”
Aku
patuh mengekor Bi Minah, terlihat badannya gesit mendahului langkahku, jadi
kubiarkan dia berjalan agak jauh dariku.
“Mama
ada Bi?” aku terbiasa
memanggil mama pada mamanya Tante Nis.
“Wah
semua lagi pada pergi.”
Agak
menyesal aku, padahal aku ingin mengorek keterangan dari Mama.
Serakan
batu koral di halaman rumah Tante Nis anggun abu-abu diselingi batu-batu besar
datar untuk pijakan. Aku berjalan setengah meloncat-loncat dari satu batu ke
batu lainnya. Bebas rasanya sebebas serakannnya. Tapi kebebasan itu terbelenggu
lagi ketika kulihat pohon-pohon mawar merah legam layu
tak terurus. Belum sempat mereka tumbuh dengan baik, mungkin Tante Nis tak
menyuruh Bibi untuk
mengurusnya. Kalau Bibi kan tergantung komando.
Hemh, ketar-ketir juga, mawar merah
kata orang lambang cinta. Dan yang aku tahu pasti, stek benih mawar merah legam
itu dipersembahkan oleh Om Indra untuk Tante Nis, dulu waktu masih
mesra-mesranya mereka. Kata Om Indra sih, agar cintanya abadi. Kalau cuma
sekuntum mawar kan bisa layu. Ini sekalian saja sama stek benihnya biar
dipelihara. Lambang pemeliharaan cinta, lambang kesetiaan, omong kosong! Itu
sih kecapnya Om Indra aja, mana buktinya?
Kasihan
mawar legam. Tante Nis suka sekali merah legamnya. Sekarang semua hampir layu, kuyu, sekuyu hatiku
kehilangan Tante Nis. Ada apa dengan Tante Nis? Iya, aku tahu ada apa,
tapi aku tidak bisa menerimanya begitu saja. Aku ingin Tante Nis tetap ceria,
aku ingin Tante Nis tetap tersenyum manis padaku dan pada keluargaku, aku ingin
Tante Nis benar-benar menjadi tanteku tersayang. Kini aku pun rela menunggunya
berjam-jam.
*
“Hei Ade! Jangan! Nanti rusak telponnya, kan Kak Zahra lagi bicara nih sama Mama-mu. Hei jangan!”
“Mama
mamam mamam babap ….”
“Lucuu…,
ci cayang, udah pintel bicala ya?” kuputuskan untuk menyimpan gagang telepon
dan bercanda dengan Ade, anak Om Indra dan Tante Nis. “Mau eskrim Ade?”
“Mamam mamam bap babap…!” racauan
Ade yang lucu, aku makin gemas.
“O,
mau ya, sini, dikasih es krim sama kakak, awas jatuh, jalannya hati-hati, ayo
jalan, ayo jalan…,” aku bernyanyi riang, senang sekali bernyanyi memberi
semangat Ade yang sedang belajar berjalan.
“Ade
mau ke mana?”
Ade
mulai bisa berjalan. Dan terus berjalan, lancar dan
cepat. “Ade? Kok cepet banget jalannya? De jangan kesitu, banyak mobil, nanti keserempet, Ade….!” Ade akhirnya berlari menuju pintu gerbang yang terbuka, melaju ke arah
jalan, dan cuittt! Suara rem yang meyakitkan. “Ade…!” kuhabiskan suaraku, tapi
serta-merta tubuh Ade tidak terlihat, terbenam ke dalam badan kendaraan yang
begitu besarnya, aku tidak tahu apa namanya, baru rasanya melihat bentuk
kendaraan seperti itu.
**
“Hai, apa kabar?”
“Tante…?”
Napasku masih tersengal, cuitan rem itu masih terasa menusuk di telinga.
“Koq
tidur di sofa?”
“Ehe
he he….” Kuusap ujung kanan bibirku, kurasa ada ilernya.
“Kamu
langsung dari sekolah?” Tante Nis menunjuk seragam putih-biruku. Aku
mengangguk.
“Sudah
sore, kamu sudah makan?”
“Males
ah,” Aku menggeleng.
“Ayo
makan dulu.”
“Dengan
berlagak gak berselera, aku
makan diam-diam dan sedikit-sedikit. Sedang kucoba cari perhatian Tante Nis.
“Koq
makannya begitu? Apa tidak lapar? Hayo yang bener makannya, lapar tahu rasa!”
Tante Nis menambahkan nasi di piringku. Tahu aja aku lapar bukan main. Dua
piring tandas kulahap nasi dan lauk-pauknya. Tante Nis tersenyum tanpa
komentar. Malu juga.
“Mau diantar pulang?”
“Sama
Tante?” isi kepalaku mulai pulih.
Tante
Nis hanya mengangguk sambil tersenyum. Waduh bisa-bisanya aku mimpi indah punya
Ade, tapi menakutkan karena Ade-nya hilang begitu saja.
Kami
menghabiskan waktu sepanjang perjalanan ke rumahku dengan berbincang dan
bercanda. Kuceritakan juga mimpiku barusan, “Tidur di sofa aja sampe mimpi!”
Tante Nis terkekeh-kekeh. Candanya serta-merta berhenti ketika kutanyakan
perihal Om Indra.
“Sudahlah,
tanya yang lain aja, jangan
tanya soal pamanmu itu.”
“Tante
benci sama Zahra?”
“Kalau
benci kenapa mesti repot-repot nganter kamu pulang?”
Iya
juga ya, “Kenapa Tante putus sama Om Indra?”
“Tuh,
pertanyaannya ke situ lagi.”
“Tante
benci sama Om Indra?”
“Ke situ lagi.”
“Hhhh….”
Aku putus asa. Kenapa mereka putus? Apa kurangnya Tante Nis? Apa pula kurangnya
Om Indra? Om-ku ganteng, suerr, badannya atletis, Om juga sudah kerja, posisinya bagus, di perusahaan besar lagi.
Kenapa mereka saling benci? Kenapa saling tidak cocok?”
Tante
Nis gak mau mampir, ia
langsung pulang. Aku berjalan lunglai menuju kamarku.
“Zahra,
dari mana aja? Ayo mandi,
makan, kurus ntar badanmu!” Mama
mencegatku di depan tangga. Mesti kalo
gak mau makan dibilang kurus. Padahal Mama sendiri pengen sekali kurus.
Bibirnya terlihat masih terbuka, rentetan kalimat-kalimat siap keluar
memberondongku dengan berbagai pertanyaan dan hujatan. Aku sudah menduga
sebelumya.
“Sudah
makan Ma, di rumah Tante Nis.” Percaya atau tidak padaku, Mama tak akan tanya
ke Tante Nis seperti sebelumnya.
“Kamu
dari rumah Nis?”
“Iya,
kan tadi siang Zahra bilang di telpon,
“Iya,
tapi Mama kan sudah bilang, kalo mau pergi-pergi, pamit sebelumnya, jangan pamit
dari jalan. Gimana kalo terjadi sesuatu sama kamu.”
“Zahra
masih utuh Ma, nggak kenapa-napa.”
“Bantah!
Awas kalau ke sana lagi!”
Tuh
tuh tuh… ada apa ini? Koq Mama juga sepertinya membenci Tante Nis? Padahal kan
sebelumnya paling akrab haha-hihi bersama.
**
“Halo
Zahra sayang….”
“Hhh…
Om Indra,” Acuh tak acuh aku tanggapi sapa akrab pamanku itu.
“Kenapa
cuwek Say?”
Aku
tak menjawab, remot TV di tangan kananku sepertinya menjadi mainan paling
mengasyikkan saat ini.
“Wah,
merajuk lagi, ayo dikenalin sama temen Om yang baru.”
“Males!”
aku setengah berteriak.
“Marah
bener nih!” Om Indra masih menggodaku.
Kutinggalkan
remot begitu saja, aku lari masuk kamar, buk! Uh, kagetnya. Kutatap orang yang
baru saja bertumbukan denganku. Cantik, tinggi besar, hei senyumnya mengembang
ramah, dan dia malah terus tertawa.
“Pasti
Zahra!” telunjuknya ke arah mukaku. “Maaf ya, sakit nggak barusan?” katanya
memelas. Aku menggeleng pelan, melaju masuk kamar. Pasti ini yang mau
dikenalkan padaku, dia pengganti Tante Niscaya. Sok akrab!
“Zahra,
ini lho Tante Dina.”
“Ya,
sudah kenal barusan,” teriakku.
Berikutnya
hari-hari kulalui dengan kehadiran calon tante yang baru yang sering sekali
diajak Om Indra ke rumah. Tante yang baru ini baiknya minta ampun. Maksudnya dalam pemberian, uang lah, barang-barang kesukaan lah. Tapi ini mesti berlebihan. Tidak seperti
Tante Nis yang perhatiannya bisa kupahami. Jangan-jangan kalau mereka sudah
menikah nanti, pemberian-pemberian itu lama-lama surut. Seperti juga
tante-tanteku yang lain, mereka sayang padaku ketika sedang pendekatan saja
sama om-ku, kalau sudah jadi, peliit sekali! Dan aku tidak mau itu terjadi.
Karenanya, Om Indra tidak boleh nikah sama Tante Dina!
Tapi
aku tak berdaya mencegahnya. Pernikahan itu terjadi juga. Tante Dina hari ini
resmi menjadi tanteku yang baru. Om Indra hari ini resmi menjadi seorang suami,
bukan lagi bujang lapuk yang gonta-ganti pacar.
“Hei!”
sentuhan lembut di bahuku mengagetkanku. “Kamu cantik pake kebaya!”
“Eh,
Tante datang juga!” setengah berteriak aku menyambut Tante Nis.
Aku
ingin memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya, “Tante boleh ngobrol-ngobrol
dengan Zahra?”
“Ayo.”
“Tante,
nggak apa-apa gitu datang ke sini?” Tanyaku heran setelah kupilih tempat duduk
yang agak pojok. “Kenapa memang? Tante harus datang, kan diundang?”
“Perasaan
Tante gimana?”
“Gimana gimana?”
Malah balik tanya. “Nggak marah
liat Om Indra?”
“Kenapa
mesti marah? Kami pisah itu saja.”
“Nggak
cemburu sama Tante Dina?”
“Enggak,
Om Indra emang pantas buat Tante Dina.”
“Zahra
nggak bisa terima Tante Dina jadi tanteku.”
“Jangan
bilang tidak, bilang aja belum.” Senyum Tante Nis mengembang, matanya tajam.
“Nggak...! berdesis pelan suaraku,
mengeleng kepalaku.
“Berpikirlah
positif tentang Tante Dina, kalau perlu kamu catat hal-hal terbaik dari Tantemu
itu. Buat daftarnya di buku harianmu, tuliskan sebanyak-banyaknya, meskipun
sekecil-kecilnya.”
“Yang
jeleknya?”
“Nah
kalau yang itu, jangan sekali-sekali ditulis, lupakan saja, lagi pula pasti kau
akan sulit menemukannya”
“Wah,
banyak jeleknya! Tante Dina suka bikin Zahra…!”
“Ssttt….
Jangan diucapkan! Apalagi ditulis!” Aku tak sempat mengucapkan pendapatku
tentang Tante Dina. Tante Nis menyetopku serta-merta.
“Kenapa?”
Belum sempat pula pertanyaanku terjawab, seorang pria gagah menghampiri meja
kami, dia tersenyum ramah padaku, siapa dia?
“Oya,
Zahra, kenalin teman baru Tante, Om Dika.”
Busyet!
Pacar Tante Nis yang baru? Pasti pacarnya, kalau bukan, kenapa datang
bareng-bareng ke acara perkawinan? Eh, kalau bukan pacar, apa tidak boleh
datang bareng-bareng ke resepsi perkawinan?
“Zahra.”
Kujabat tangannya. Kesan pertama, orangnya hangat dan… keren. Sebetulnya siapa
yang bikin gara-gara? Tante Nis yang selingkuh atau Om Indra? Atau dua-duanya
selingkuh? Atau mereka pisah baik-baik, lantas mereka cari pasangan baru?
“Kita
tak kan lama lagi nyusul Om dan Tantemu.” Aku terdiam beberapa jenak, mencerna
kalimat barusan, “Nikah?” Bodoh
sekali pertanyaan itu.
“Iya,
datang ya, Zahra tamu istimewa Tante.”
Ya
Tuhan?
“Mau
datang kan?” Tante Nis menyentil pipiku.
“Eh…iiya
Tante, emangnya kapan?”
“Sebulan
lagi, nanti kartu undangannya dikirim.”
“Selamat
ya.”
“Makasih.”
Dan
pertemuan itu berakhir, mereka beriringan sungguh sangat serasi.
*
“Nomor
satu, tersenyum ketika pertama ketemu.”
Nomor
dua, banyak bikin ketawa bikin aku geli. Bukan, itu bukan sisi positif, itu
sisi negatif, dia kan tertawa menertawakanku. “Nomor dua, ngasih uang untuk
beli novel. Nomor tiga, ngasih uang saku untuk berenang. Nomor empat, ngasih
uang untuk beli parfum. Nomor lima ngasih uang untuk berangkat ekskul. Nomor
enam, ngasih kaus Black Pink kesukaanku. Nomor tujuh,
beliin aku buku atlas. Nomor delapan, ngomentarin cantik ketika kupakai baju
biru.”
Sudah
seminggu kuikuti saran Tante Nis. Balpoin terus menari-nari di atas buku diariku.
Dan Hei! Sudah sampai di nomor 67 sisi positif Tante Dina. Apa iya? Kubaca lagi
daftar itu dari awal. Apa iya ya Tante Dina sebaik itu? Apa iya ya?
Kututup
diariku. Aku keluar kamar. Berdiri di ujung tangga. Kulihat Om Indra dan Tante
Dina sedang asyik nonton TV bareng
Mama-Papa dan yang lainnya. Sebentar-sebentar mereka tertawa. Hampir tak
bersuara kuturuni anak tangga satu persatu.
“Akhir-akhir
ini kamu asyik di kamar, Zahra?” Mama
menyambutku.
“Banyak
PR Ma.”
Selanjutnya
ruang keluarga dipenuhi gelak tawa.
Sebentar
lagi aku akan kehilangan tawa Tante Dina dan godaan-godaan Om Indra, mereka
akan segera menempati rumah barunya. Aku pasti merindukan mereka.*** (Dari
Antologi Bermula dari Mimpi, 2020)